Senin, 25 Oktober 2021
11 Tahun Erupsi Merapi 2006
Tanggal 26 Oktober 2021 bulan ini jatuh pada hari Selasa dan bertepatan dengan tanggal 20 Rabiul Awal 1443 Hijriah.
Setiap tanggal 26 Oktober diperingati sebagai hari apa, hal ini banyak pembaca yang mencari tahu peringatan dan peristiwa yang terjadi pada tanggal tersebut.
Salah satu peristiwa yang masih teringat bagi kita adalah peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 di Yogyakarta.
Letusan ini menewaskan sedikitnya 353 orang meninggal dunia, termasuk salah satunya adalah Mbah Maridjan sang Juru Kunci Gunung Merapi yang legendaris.


HOME
NASIONAL
26 Oktober 2021 Hari Apa, Memperingati Peristiwa Apa? Letusan Gunung Merapi hingga Meninggalnya Mbah Maridjan
ENDRIK YAHMAWAN
25 Oktober 2021, 14:21 WIB

Kalender Oktober 2021 /
MEDIA JABODETABEK - Tanggal 26 Oktober 2021 bulan ini jatuh pada hari Selasa dan bertepatan dengan tanggal 20 Rabiul Awal 1443 Hijriah.
Setiap tanggal 26 Oktober diperingati sebagai hari apa, hal ini banyak pembaca yang mencari tahu peringatan dan peristiwa yang terjadi pada tanggal tersebut.
Salah satu peristiwa yang masih teringat bagi kita adalah peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 di Yogyakarta.
Baca Juga: Bersama Hyundai Mari Majukan Inovasi Berkendara Bebas Karbon [Ads]
Baca Juga: 3 Kumpulan Puisi Sumpah Pemuda 4 Bait, 'Bukanlah Kata-kata Hampa yang Terlontar'
Letusan ini menewaskan sedikitnya 353 orang meninggal dunia, termasuk salah satunya adalah Mbah Maridjan sang Juru Kunci Gunung Merapi yang legendaris.
Sebelum peristiwa meletusnya, pada tanggal 20 September 2010, status Gunung Merapi dinaikkan dari Normal menjadi Waspada oleh BPPTK Yogyakarta.
Sehari kemudian, status dinaikkan menjadi Siaga. Kemudian pada tanggal 25 Oktober tepat sehari sebelum meletusnya Merapi, BPPTK Yogyakarta meningkatkan status Gunung Merapi menjadi Awas.
Pada tanggal 26 Oktober 2020, Gunung Merapi memasuki fase erupsi. Berdasarkan laporan BPPTK, erupsi terjadi mulai pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi sampai tiga kali letusan.
Letusan diiringi keluarnya awan panas setinggi 1,5 kilometer yang mengarah ke Selatan di wilayah Kaliadem, Kepuharjo.
Salah satu korban meninggal adalah Mbah Maridjan yang kesehariannya tinggal dan menjaga kawasan Gunung Merapi. Oleh warga sekitar Mbah Maridjan dikenal sebagai Juru Kunci Gunung Merapi.
Mbah Maridjan yang memiliki nama asli Mas Penewu Surakso Hargo lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan Sleman pada 5 Februari 1927.
Adapun amanah sebagai Juru Kunci beliau dapatkan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sebelumnya beliau menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Baru kemudian gelar Juru Kunci disandang mulai tahun 1982.
Setiap peristiwa Gunung Merapi akan meletus, warga di kawasan selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi ke zona evakuasi yang aman.
Sejak peristiwa Letusan Gunung Merapi tahun 2006, Mbah Maridjan semakin dikenal karena sering diliput media mainstream saat Gunung Merapi menampakkan status Siaga.
Mbah Maridjan pun akhirnya dikenal luas oleh masyarakat tanah air sebagai Juru Kuncen Gunung Merapi.
Semoga Mbah Maridjan sudah tenang di sana, mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT dan diampuni segala dosa-dosanya. Amin.
#mediajabodetabek
Rabu, 13 Oktober 2021
Pasar Malam Sekaten Yogyakarta Dipindah ke Mal
Yogyakarta - Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) terakhir kali diadakan tahun 2018 silam. Setelah itu tak ada lagi, dan kini dipindah ke mal.
Pasar malam ini menyajikan hiburan rakyat sampai pakaian bekas impor atau awul-awul tersebut. Ingin menghidupkan semangat PMPS, Pemkot Yogyakarta kembali menggelar even yang mirip.
Namanya, Sekati YK Ing Mal, yang menampilkan UMKM seluruh Kota Yogyakarta di tiga mal, yakni Malioboro Mall, Galeria Mall, dan Lippo Plaza, mulai 13-18 Oktober ini.
"Pasar malam dulu kan pasti di Alun-Alun Utara. Dulu itu ada ide pak wawali, pie nek (bagaimana bila) dipindah ning (di) Lapangan Karangkata Asisten Sekretaris Daerah (Assekda) II Bidang Pembangunan dan Perekonomian Kota Yogyakarta Kadri Renggono, saat jumpa pers Sekati Ing Mall, di Kompleks Balai Kota, Yogyakarta, Selasa (12/10/2021).
"Karena kemudian pandemi, kita juga bisa meng-create event pameran semua OPD (di Kota Yogyakarta)," imbuh dia.
Kadri menjelaskan, pemilihan nama Sekati tersebut merupakan hasil konsultasi dari Keraton Yogyakarta. Apalagi, Penghageng Nityabudaya Keraton Yogyakarta GKR Bendara juga terlibat dalam Sekati YK Ing Mall ini.
"Gusti Bendara nanti juga terlibat sebagai Kepala Perwakilan International Council For Small Bisnis," jelas Kadri.
Ia menambahkan, selama ini Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) telah menjadi salah satu ikon Yogyakarta. Bahkan telah menjadi daya tarik wisata. Semangat itulah yang akan dilaksanakan di Sekati Ing Mall tersebut.
"Kegiatan ini rencananya akan diselenggarakan setiap tahun untuk mangayubagyo Sekaten yang dilaksanakan oleh Keraton," katanya.
Seperti telah diberitakan, sejak tahun 2019, pelaksanaan Sekaten berlangsung tanpa pasar malam. Pelaksanaannya pun tetap sama ditandai dengan miyos gongso (kehadiran gamelan Keraton), nyebar udik-udik, dan pembacaan riwayat nabi.
"Yang jelas untuk tahun ini kami coba break dulu (PMPS) untuk (pemulihan) kondisi Alun-alun (Utara)," jelas KPH Notonegoro, yang menjabat Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kamis (3/10/2019).
Notonegoro menjelaskan tidak diadakannya PMPS merupakan keinginan Sri Sultan HB X. Alasannya untuk mengembalikan semangat Hajad Dalem Sekaten seperti era awal Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa.
"Pasar malam itu sebenarnya bukan bagian dari Sekaten ya. Jadi kami coba mengembalikan ke semangat Sekaten awal, mumpung kesempatan sekalian ini juga untuk (memulihkan) kondisi Alun-alun (Utara) supaya bisa lebih baik," ungkap suami GKR Hayu itu.
Notonegoro lalu bercerita mengenai sejarah PMPS yang digelar berbarengan dengan Hajad Dalem Sekaten. Menurutnya, digelarnya PMPS merupakan siasat pihak kolonial Belanda untuk menghadang syiar Islam dan menutup potensi pemberontakan dari masyarakat.
"Sebetulnya (PMPS) itu ada sejarahnya juga ya. Itu waktu zaman dulu, karena Sekaten itu dipakai untuk syiar oleh kerajaan-kerajaan, untuk dakwah, dan juga kadang-kadang disisipi pesan-pesan semangat perjuangan melawan penjajah," katanya.
"Belanda itu yang mengadakan pasar malam, gitu, untuk memecah perhatian rakyat supaya tidak terlalu ke sana (Sekaten). Dan kemudian setelah lama tidak ada, baru sekitar mungkin 30 tahun yang lalu diadakan lagi pasar malam Sekaten," pungkas dia.
Heri Susanto - detikTravel
Minggu, 10 Oktober 2021
"Ingat! Hari Libur Maulid Nabi Muhammad 2021 Digeser ke 20 Oktober"
Jakarta (Kemenag) --- Pemerintah menggeser hari libur peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw menjadi 20 Oktober 2021. Kebijakan ini diambil sebagai langkah antisipasi munculnya kasus baru Covid-19.
"Sebagai antisipasi munculnya kasus baru Covid-19, hari libur Maulid Nabi digeser 20 Oktober 2021," tegas Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin di Jakarta, Sabtu (9/10/2021).
Kamaruddin Amin menegaskan, bahwa Maulid Nabi Muhammad Saw tidak berubah, tetap 12 Rabiul Awal. Hanya, hari libur dalam rangka memperingatinya yang digeser.
"Maulid Nabi Muhammad Saw tetap 12 Rabiul Awal. Tahun ini bertepatan 19 Oktober 2021 M. Hari libur peringatannya yang digeser menjadi 20 Oktober 2021 M," paparnya.
Perubahan ini tertuang dalam Keputusan bersama Menag, Menaker, dan Menpan RB No 712, 1, dan 3 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Bersama Menag, Menaker, Menpan dan RB No 642, 4, dan 4 tahun 2020 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama.
Sebelumnya, perubahan juga dilakukan pada hari libur peringatan tahun baru hijriyah. Tahun barunya tetap 1 Muharram 1443 H, bertepatan 10 Agustus 2021. Namun, hari libur dalam rangka memperingatinya digeser menjadi 11 Agustus 2021.
"Perubahan juga terjadi terkait cuti bersama dalam rangka Hari Raya Natal yang awalnya ditetapkan pada 24 Desember, akhirnya diputuskan untuk ditiadakan," tandasnya.
Sumber Kemenag RI
Senin, 06 September 2021
Bangun Gelora Aksara Jawa, Yogyakarta Dicanangkan Jadi Kota Hanacaraka
YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam rangka menyambut Hari Aksara Internasional (HAI), pada 8 September 2021, Yogyakarta dicanangkan menjadi Kota Hanacaraka.
Ilustrasi penggunaan aksara Jawa di era digital. (Sumber: PANDI)
Pencanangan tersebut dinilai sebagai upaya yang baik dalam membangun gelora aksara Jawa, terutama terkait pelestarian budaya daerah.
Dukungan untuk pencanangan Kota Hanacaraka itu pun datang dari organisasi nirlaba, Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI).
Wakil Ketua Bidang Pengembangan Usaha, Pemasaran, dan Kerjasama PANDI Heru Nugroho mengatakan, HAI sejalan dengan salah satu program yakni Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN).
"Kami (PANDI) menganggap bahwa gagasan Yogyakarta menjadi Kota Hanacaraka itu sangat luar biasa, sesuai dengan spirit kami dalam membangun program MIMDAN ini," kata Heru lewat pernyataan persnya, Senin (6/9/2021).
Jelasnya, pencanangan Yogyakarta sebagai Kota Hanacaraka memiliki maksud untuk menjaga eksistensi aksara Jawa di era digital, termasuk mendorong penggunaannya secara lebih luas.
Sementara itu, Kepala Seksi Bahasa dan Sastra, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Setya Amrih Prasaja menuturkan bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan untuk menggelorakan penggunaan aksara Jawa di ranah digital.
Mulai dari akselerasi dan pelaziman agar penggunaan aksara Jawa terlihat nyata, hingga usaha membangkitkan kembali kebanggaan masyarakat Yogyakarta.
Untuk itu, Dinas Kebudayaan DIY mengambil inisiatif dengan menggelar beberapa kegiatan dalam rangka memeriahkan HAI, misalnya webinar pemanfaatan aksara Jawa di ranah digital.
"Tujuannya agar semakin terbangun kesadaran bahwa aksara Jawa eksis di ranah digital dan semakin menunjukkan peningkatan dari sisi penggunanya," ucap Amrih.
Selain itu, bersama PANDI, Dinas Kebudayaan DIY juga tengah mendaftarkan standardisasi huruf dan papan tombol aksara Jawa ke Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Sabtu, 02 Januari 2021
Jakarta Gawat Darurat, Ibu Kota Pun Pindah ke Yogyakarta
Ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946 karena situasi Jakarta yang gawat.
Ilustrasi Tugu Yogyakarta & Hamengkubuwana IX. tirto.id/Sabit
Wacana bakal pindahnya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta bergulir pada 2019 dan tampaknya mulai surut sejak pandemi COVID-19 merebak. Jika ibu kota jadi berpindah, ini bukan kali pertama dalam sejarah.
Sejarah mencatat, ibu kota RI pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946. Pusat pemerintahan negara juga sempat dialihkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat, lantaran Agresi Militer Belanda II yang menyasar Yogyakarta pada 1948.
Saat ini, sebagian kalangan menganggap Jakarta sudah kurang layak untuk dijadikan pusat pemerintahan. Berbagai masalah akut macam banjir, kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, transportasi, tata kota, dan lain-lain menjadi alasan mengapa sebaiknya Jakarta dipensiunkan dari status ibu kota.
Sempat ada beberapa tempat di Kalimantan yang menjadi kandidat terkuat calon ibu kota baru RI nanti, dari Pontianak, Kayong Utara, Palangkaraya, Gunung Mas, Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, hingga Penajem Paser Utara. Akhirnya, tempat terakhir lah yang dipilih.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat itu, Bambang Brodjonegoro, bahkan sudah memastikan sejak Juli 2019 bahwa ibu kota baru RI nanti memang direncanakan di Borneo, demi pemerataan, kendati belum diungkapkan lebih rinci.
Pulaunya Kalimantan, provinsinya nanti,” ujar Bambang dalam acara Penyusunan Langkah Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Jawa-Bali 2020-2024 di Surabaya, Senin, (29/7/2019) lalu.
“Kami ingin rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga pusat (ibu) kota baiknya di tengah. Jakarta ke Jayapura terbang lima jam, karenanya kalau kita ingin perhatikan Indonesia timur, salah satunya dengan menengahkan ibu kotanya,” imbuhnya.
Menurut Sutikno, para pemimpin bangsa saat itu memilih Jakarta sebagai ibu kota RI karena tersedianya banyak sekali fasilitas warisan Belanda, termasuk Gedung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kemudian dijadikan sebagai Istana Negara. Maklum, pada masa kolonial, kota ini juga menjadi pusat pemerintahan, bernama Batavia.
Sutikno berpendapat, hal ini masuk akal karena setelah dijajah selama lebih dari tiga abad, Indonesia yang tiba-tiba memproklamirkan kemerdekaan belum memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun bangunan-bangunan penting dan fasilitas penunjang lainnya.
“Kami ingin rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga pusat (ibu) kota baiknya di tengah. Jakarta ke Jayapura terbang lima jam, karenanya kalau kita ingin perhatikan Indonesia timur, salah satunya dengan menengahkan ibu kotanya,” imbuhnya.
Jakarta Warisan Kolonial
Status Jakarta sebagai ibu kota RI sejatinya karena peninggalan kolonial semata. Hal ini diungkapkan peneliti Pusat Studi Bencana UGM, Sutikno, dalam makalah bertajuk “Perpindahan Ibu Kota Negara: Suatu Keharusan Atau Wacana?” (2007) yang tersedia di website Kemendikbud.Menurut Sutikno, para pemimpin bangsa saat itu memilih Jakarta sebagai ibu kota RI karena tersedianya banyak sekali fasilitas warisan Belanda, termasuk Gedung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kemudian dijadikan sebagai Istana Negara. Maklum, pada masa kolonial, kota ini juga menjadi pusat pemerintahan, bernama Batavia.
Sutikno berpendapat, hal ini masuk akal karena setelah dijajah selama lebih dari tiga abad, Indonesia yang tiba-tiba memproklamirkan kemerdekaan belum memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun bangunan-bangunan penting dan fasilitas penunjang lainnya.
Meskipun begitu, Jakarta justru sempat tak lama menyandang status sebagai ibu kota RI sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Hanya beberapa pekan setelah Indonesia merdeka, Belanda datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu setelah mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia Kedua.
Pada 29 September 1945, tentara Belanda alias NICA bahkan sudah memasuki Jakarta. Di sisi lain, masih ada sisa-sisa tentara Jepang yang belum ditarik. Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah petinggi pemerintahan RI lainnya mencoba bertahan sebisa mungkin di ibu kota.
Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Baru II (2009) karya Wiharyanto A.K., tawaran ini disambut baik oleh Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi negara. Persiapan kepindahan ibu kota pun langsung dirembuk dalam sidang kabinet tertutup.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak,” ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Pada 29 September 1945, tentara Belanda alias NICA bahkan sudah memasuki Jakarta. Di sisi lain, masih ada sisa-sisa tentara Jepang yang belum ditarik. Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah petinggi pemerintahan RI lainnya mencoba bertahan sebisa mungkin di ibu kota.
Ibu Kota RI Pindah
Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hamengkubuwana IX, pada 2 Januari 1946 mengirimkan kurir ke Jakarta untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Sukarno. HB IX dan Paku Alam VIII, pemimpin kerajaan lainnya di Yogyakarta yakni Kadipaten Pakualaman, menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara RI.Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Baru II (2009) karya Wiharyanto A.K., tawaran ini disambut baik oleh Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi negara. Persiapan kepindahan ibu kota pun langsung dirembuk dalam sidang kabinet tertutup.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak,” ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Rencana pun disusun dengan cermat mengingat Jakarta sangat rawan. Malam hari tanggal 3 Januari 1946, tepat hari ini 75 tahun lalu, di jalur kereta api yang terletak di belakang kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta Pusat, tiba sebuah gerbong dengan ditarik lokomotif secara perlahan. Lampu kereta itu dimatikan agar tidak memantik curiga.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kenang Bung Karno.
Dimulailah perjalanan menegangkan itu. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu tiba di Yogyakarta dengan selamat. Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta.
Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Sukarno dan kawan-kawan. Dan, sejak saat itu, ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Keraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kenang Bung Karno.
Dimulailah perjalanan menegangkan itu. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu tiba di Yogyakarta dengan selamat. Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta.
Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Sukarno dan kawan-kawan. Dan, sejak saat itu, ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Keraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
Yogyakarta Darurat Perang
Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 membuat Yogyakarta terguncang. Sukarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.Ibu kota Indonesia pun pindah lagi, kali ini ke Bukittinggi, berkat peran Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan yang membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menyebut bahwa PDRI memainkan peranan penting dan menjamin perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan sah yang diakui oleh kaum republik di seluruh Indonesia.
Angkatan perang RI membalas lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk merebut Yogyakarta demi membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. PBB dan beberapa negara pun mendesak kepada Belanda untuk berdamai.
Atas desakan itu, Sukarno dan kawan-kawan akhirnya dibebaskan dan dipulangkan Yogyakarta. Demikian pula PDRI yang kemudian dibubarkan karena pusat pemerintahan RI di Yogyakarta sudah mulai pulih sejak 6 Juli 1949.
Kedudukan ibu kota di Yogyakarta berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949 sesuai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu, terhitung tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota Republik Indonesia dikembalikan secara resmi ke Jakarta hingga saat ini.
==========
Kedudukan ibu kota di Yogyakarta berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949 sesuai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu, terhitung tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota Republik Indonesia dikembalikan secara resmi ke Jakarta hingga saat ini.
==========
#tirtoid
Langganan:
Postingan (Atom)