Rabu, 07 Oktober 2015

Pawai Budaya Jogja Istimewa HUT Kota Jogja ke-259

Puncak Pawai Budaya Jogja Istimewa yang dipusatkan di Tugu Yogyakarta. Kegiatan pawai ini berlangsung mulai pukul 19.00 WIB hingga 21.00 WIB




Ada sedikit perbedaan dalam pawai dari tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun lalu dipusatkan di Titik Nol dengan lintasan Jalan Malioboro, kali ini dipusatkan di Tugu Yogyakarta.
Alasannya, lokasi Titik Nol Yogyakarta sedang direnovasi, sehingga tidak memungkinkan digelar hajatan di kawasan tersebut. Untuk itu, puncak peringatan digelar di Kawasan Tugu Yogyakarta.










Setidaknya ada sekitar 4.000 orang dari berbagai komunitas dan masyarakat yang terlibat meramaikan acara pawai budaya ini, dari kecamatan sampai tingkat kelurahan dan berbagai lembaga yang ada di Kota Jogja.





Sabtu, 03 Oktober 2015

Sejarah Berdirinya Kota Jogja


#Foto Tugu Jogja Indra Bayu Permana/KF/Kompas
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari . Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang sambil menunggui pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta. Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura 1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pembangunan ibu kota Kasultanan Yogyakarta ini membutuhkan waktu satu tahun. Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura 1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi. Momentum kepindahan inilah yang dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.


Kota Pelajar
Antara awal tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, selama lebih kuran 4 tahun, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara RI. Pada masa itu para pimpinan bangsa Indonesia berkumpul di kota perjuangan ini. Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara ini yang baru saja medeka. Namum untuk dapat membangun suatu negara diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik dan telatih. Dan karena itulah yang melatar belakangin pemerintah RI untuk mendirikan sebuah Universitas, yang kita kenal dengan nama Universitas Gajah Mada, merupakan Universitas Negeri pertama yang lahir pada masa kemerdekaan.
Universitas Gadjah Mada
Selanjutnya diikuti dengan berdirinya akademi di bidang kesenian(Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Musik Indonesia), serta sekolah tinggi di bidang agama Islam (Perguruan Tinggi Agama Islam Negaeri, yang selanjutnya menjadi IAIN Sunan Kalijaga). Pada waktu selanjutnya juga bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta di kota Yogyakarta, sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini. Hal ini menjadikan kota Jogja tumbul menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Sarana mobilitas paling populer di kalangan pelajar,mahasiswa,karyawan,pegawai,pedagang dan masyarakat umum adalah sepeda dan sepeda motor, yang merupakan sarana trasportasi yang digunakan baik siang mupun di malam hari. Hal ini menjadika Jogja juga dikenal dengan sebutan kota sepeda. 
Pusat Kebudayaan
Pada hakekatnya, seni budaya yang asli dan indah selalu terdapat di lingkunggan kraton dan daerah disekitarnya. Sebagai bekas suatu Kerajaan yang besar, maka Yogyakarta memiliki kesenian dan kebudayaan yang tinggi dan bahkan merupakan pusat sumber seni budaya Jawa. Hal ini dapat kita lihat dari peninggalan seni-budaya yang dapat kita saksikan pada pahatan pada monumen-monumen peninggalan sejarah seperti candi-candi, istana Sultan dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan dengan kehidupan istana. Dan sebagian dapat disaksikan pada moseum-moseum budaya.
Prajurit Kraton Tempoe Doeloe
Kehidupan seni tari dan seni lainnya juga masih berkembang pesat di kota Jogja serta nilai-nilai budaya masyarakat Jogja terukap pula dalam bentuk arsitektur rumah penduduk, dengan bentuk joglonya yang banyak dikenal di seluruh Indonesia. Andhong antik di Jogja memperkuat kesan, bahwa Yogyakarta masih memiliki nilai-nilai tradisional. Seniman terkenal dan seniman besar besar yang ada di Indonesia saat ini, banyak yang didik dan digembleng di Yogyakarta. Sederetan nama seniman seperti Affandi, Bagong Kusdiharjo, Edi Sunarso, Saptoto, Amri Yahya, Kuswadji Kawindro Susanto dan lain-lain merupakan nama-nama yang ikut memperkuat pernanan Yogyakarta sebagai Pusat Kebudayaan.
Daerah Tujuan Wisata 
Pada masa sekarang, seluruh predikat Yogyakarta luluh mejadi satu dan berkembang menjadi satu dimensi baru : Yogyakarta sebagai Daerah Tujuan Wisata. Keramahtamahan yang tulus, khas Yogyakarta, akan menyambut para wisatawan di saat mereka datang, sengan kemesraan yang dalam akan mengiring, saat mereka meninggalkan Yogya, dengan membawa kenangan manisyang tidak akan mereka lupakan sepanjang masa.
Malioboro Jaman Author belum Lahir
Perananya sebagai kota Perjuangan, daerah Pelajar dan Pusat Pendidikan, serta daerah Kebudayaan, ditunjang oleh panorama yang indah, telah mengangkat Yogyakarta sebagai Daerah yang menarik untuk dikunjungi dan mempesona untuk disaksikan. Yogyakarta juga memiliki berbagai fasilitas dengan kualitas yang memadai yang tersedia dalam jumlah yang cukup, Kesemuanya itu akan bisa memperlancar dan memberi kemudahaan bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota Yogya. Sarana transportasi, akomodasi dan berbagai sarana penunjang lainnya, seperti santapan makan-minum yang lezat, serta aneka ragam cinderamata, mudah diperoleh di mana-mana.
Sumber : Risalah Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 6 Tahun 2004.

Garebeg Pasar Tradisional Bakal Awali Rangkaian HUT ke-259 Kota Yogya

HUT ke-259 Kota Yogyakarta akan diawali dengan Kirab Pedagang Pasar Tradisional atau Grebeg Pasar Kota Yogyakarta 2015.

 #Foto Hendra Wardana juni 2013.

Acara yang diadakan Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta ini akan dilaksanakan pada Minggu (4/10/2015), mulai pukul 14.00 sampai 18.00.
Kirab nantinya akan diikuti kurang lebih 2100 orang yang berasal dari 45 paguyuban yang tersebar di 31 pasar tradisional.
Dalam kirab tersebut, masing-masing paguyuban pasar akan menampilkan ciri khas masing-masing pasar tradisional.
Ciri tersebut akan ditampilkan baik dalam gunungan yang dibawa, kostum maupun atraksi di jalanan.
Paguyuban Pasar Telo misalnya, akan menampilkan ciri khas mereka yang identik dengan hasil bumi, terutama telo atau singkong.
Sementara Pasar Sentul yang memiliki ciri khas menjual jagung juga akan menampilkan atraksi sesuai dengan ciri khas yang dimilikinya tersebut. Dan ada pula Pasar Terban yang memiliki ciri khas dagangan ayam.

Atraksi masing-masing paguyuban pasar tradisional ini nantinya akan diseleksi untuk memilih juara I, II, dan III.
Adapun rute Kirab Pasar Tradisional ini akan mulai dari Pasar Beringharjo dan berakhir di Pasar Ngasem.
Di Pasar Ngasem inilah nantinya gunungan bisa diperebutkan masyarakat. Rute yang dilewati antara lain Jalan Pabringan, Jalan Margo Mulyo, Titik Nol, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Nyi Ahmad Dahlan, dan Jalan Ngasem.
Selain Grebeg Pasar, HUT Kota Yogyakarta tahun ini juga akan disemarakkan dengan Grebeg Mall pada 5 Oktober, Kenduri Jogja pada 6 Oktober dan Pawai Budaya sebagai puncaknya pada 7 Oktober mendatang. #Tribunjogja