Kabar Jogjakarta
Senin, 25 Oktober 2021
11 Tahun Erupsi Merapi 2006
Rabu, 13 Oktober 2021
Pasar Malam Sekaten Yogyakarta Dipindah ke Mal
Minggu, 10 Oktober 2021
"Ingat! Hari Libur Maulid Nabi Muhammad 2021 Digeser ke 20 Oktober"
Senin, 06 September 2021
Bangun Gelora Aksara Jawa, Yogyakarta Dicanangkan Jadi Kota Hanacaraka
Sabtu, 02 Januari 2021
Jakarta Gawat Darurat, Ibu Kota Pun Pindah ke Yogyakarta
Ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946 karena situasi Jakarta yang gawat.
Ilustrasi Tugu Yogyakarta & Hamengkubuwana IX. tirto.id/Sabit
Wacana bakal pindahnya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta bergulir pada 2019 dan tampaknya mulai surut sejak pandemi COVID-19 merebak. Jika ibu kota jadi berpindah, ini bukan kali pertama dalam sejarah.
Sejarah mencatat, ibu kota RI pernah dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946. Pusat pemerintahan negara juga sempat dialihkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat, lantaran Agresi Militer Belanda II yang menyasar Yogyakarta pada 1948.
Saat ini, sebagian kalangan menganggap Jakarta sudah kurang layak untuk dijadikan pusat pemerintahan. Berbagai masalah akut macam banjir, kemacetan lalu lintas, kepadatan penduduk, transportasi, tata kota, dan lain-lain menjadi alasan mengapa sebaiknya Jakarta dipensiunkan dari status ibu kota.
Sempat ada beberapa tempat di Kalimantan yang menjadi kandidat terkuat calon ibu kota baru RI nanti, dari Pontianak, Kayong Utara, Palangkaraya, Gunung Mas, Banjarmasin, Banjarbaru, Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, hingga Penajem Paser Utara. Akhirnya, tempat terakhir lah yang dipilih.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat itu, Bambang Brodjonegoro, bahkan sudah memastikan sejak Juli 2019 bahwa ibu kota baru RI nanti memang direncanakan di Borneo, demi pemerataan, kendati belum diungkapkan lebih rinci.
“Kami ingin rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien, sehingga pusat (ibu) kota baiknya di tengah. Jakarta ke Jayapura terbang lima jam, karenanya kalau kita ingin perhatikan Indonesia timur, salah satunya dengan menengahkan ibu kotanya,” imbuhnya.
Jakarta Warisan Kolonial
Status Jakarta sebagai ibu kota RI sejatinya karena peninggalan kolonial semata. Hal ini diungkapkan peneliti Pusat Studi Bencana UGM, Sutikno, dalam makalah bertajuk “Perpindahan Ibu Kota Negara: Suatu Keharusan Atau Wacana?” (2007) yang tersedia di website Kemendikbud.Menurut Sutikno, para pemimpin bangsa saat itu memilih Jakarta sebagai ibu kota RI karena tersedianya banyak sekali fasilitas warisan Belanda, termasuk Gedung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kemudian dijadikan sebagai Istana Negara. Maklum, pada masa kolonial, kota ini juga menjadi pusat pemerintahan, bernama Batavia.
Sutikno berpendapat, hal ini masuk akal karena setelah dijajah selama lebih dari tiga abad, Indonesia yang tiba-tiba memproklamirkan kemerdekaan belum memiliki kemampuan yang memadai untuk membangun bangunan-bangunan penting dan fasilitas penunjang lainnya.
Pada 29 September 1945, tentara Belanda alias NICA bahkan sudah memasuki Jakarta. Di sisi lain, masih ada sisa-sisa tentara Jepang yang belum ditarik. Sukarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah petinggi pemerintahan RI lainnya mencoba bertahan sebisa mungkin di ibu kota.
Ibu Kota RI Pindah
Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Hamengkubuwana IX, pada 2 Januari 1946 mengirimkan kurir ke Jakarta untuk menyampaikan pesan kepada Presiden Sukarno. HB IX dan Paku Alam VIII, pemimpin kerajaan lainnya di Yogyakarta yakni Kadipaten Pakualaman, menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara RI.Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Baru II (2009) karya Wiharyanto A.K., tawaran ini disambut baik oleh Presiden Sukarno dan para pejabat tinggi negara. Persiapan kepindahan ibu kota pun langsung dirembuk dalam sidang kabinet tertutup.
“Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda, aku juga tidak,” ucap Presiden Sukarno seperti diungkapkan kembali oleh Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kenang Bung Karno.
Dimulailah perjalanan menegangkan itu. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu tiba di Yogyakarta dengan selamat. Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta.
Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Sukarno dan kawan-kawan. Dan, sejak saat itu, ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Keraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
Yogyakarta Darurat Perang
Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 membuat Yogyakarta terguncang. Sukarno, Hatta, dan sejumlah pejabat tinggi RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.Ibu kota Indonesia pun pindah lagi, kali ini ke Bukittinggi, berkat peran Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan yang membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menyebut bahwa PDRI memainkan peranan penting dan menjamin perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan sah yang diakui oleh kaum republik di seluruh Indonesia.
Angkatan perang RI membalas lewat Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk merebut Yogyakarta demi membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. PBB dan beberapa negara pun mendesak kepada Belanda untuk berdamai.
Kedudukan ibu kota di Yogyakarta berlangsung hingga penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir 1949 sesuai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu, terhitung tanggal 17 Agustus 1950, ibu kota Republik Indonesia dikembalikan secara resmi ke Jakarta hingga saat ini.
==========
Selasa, 22 Desember 2020
Penegakan Protokol Kesehatan di DIY Pada Liburan Akhir Tahun 2020
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan surat instruksi penegakan protokol kesehatan menghadapi libur Natal dan Tahun Baru 2021.
Pengelola hotel dan ketua RT diwajibkan meminta hasil tes cepat (rapid test) antigen atau PCR pada setiap tamu yang datang dari luar daerah. Surat instruksi nomor 7/INSTR/2020 tersebut mulai berlaku setelah ditandatangani dan ditetapkan Gubernur DIY pada hari ini Selasa 22 Desember 2020. Instruksi ditujukan bagi seluruh kepala daerah baik Wali Kota maupun Bupati di DIY. Dalam surat tersebut Sultan menginstruksikan enam hal, yakni yang pertama memperketat operasi yustisi untuk memastikan pelaksanaan isolasi terpusat protokol kesehatan. Kedua mencegah kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. Ketiga memperketat pembatasan sosial dengan dengan memberlakukan pembatasan operasional pusat perbelanjaan, rumah makan, cafe, bioskop, restoran, tempat hiburan, dan tempat wisata dengan pelaksanan opersional pukul 09.00 WIB sampai 22.00 WIB. Keempat memperketat protokol kesehatan di hotel, rest area, tempat parkir dan tempat wisata. Kelima melakukan optimalisasi pemanfaatan isolasi terpusat. "Keenam mewajibkan kepada pengelola hotel/ penginapan dan ketua RT/RW sebelun menerima tamu dari luar DIY untuk meminta hasil rapid test antigen/test swab/PCR dengan hasil negatif paling lama H+7," bunyi instruksi tersebut. Sebelum mengelurkan surat instruksi, Sultan telah menyatakan bagi para pelaku perjalanan yang hendak ke Yogyakarta diwajibkan menyertakan surat hasil rapid test antigen atau PCR yang menunjukkan non reaktif atau negatif COVID-19. "Karena itu aturan pemerintah. Bagi mereka yang melaksanakan perjalanan di bulan Desember ini, wajib untuk rapid [test antigen] atau swab. Jadi mau ndak mau dilaksanakan. Karena itu berlaku nasional," katan Sultan dalam pernyataan resminya, Jumat (18/12/2020). Aturan tersebut wajib dipatuhi oleh masyarakat yang hendak berkunjung ke Yogyakarta, ataupun sebaliknya bagi warga Yogyakarta yang hendak bepergian ke luar daerah.
Baca selengkapnya di artikel "Pengelola Hotel di Jogja Wajib Minta Hasil Test Antigen/PCR ke Tamu",
Sabtu, 21 November 2020
Gunung Merapi Luncurkan Guguran Material Ke Kali Lamat Sejauh 1 Km
Gunung Merapi Luncurkan Guguran Material Ke Kali Lamat Sejauh 1 Km
Gunung Merapi mengeluarkan guguran material ke arah hulu Kali Lamat pada Minggu (22/11/2020) pukul 06.48 WIB.
Gunung Merapi mengeluarkan guguran material ke arah hulu Kali Lamat pada Minggu (22/11/2020) pukul 06.48 WIB pagi tadi. Guguran tersebut meluncur dengan jarak satu kilometer.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida menyatakan guguran material Gunung Merapi yang menuju ke arah Kali Lamat yang melintasi wilayah Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tersebut teramati dari Pos Pengamatan Gunung Merapi atau Pos PGM Babadan.
"Guguran teramati satu kali jarak luncur maksimal 1.000 meter ke arah hulu Kali Lamat pada Minggu pukul 06.48 WIB pagi," ujar Hanik melalui keterangan tertulisnya pada Minggu (22/11/2020).
Lebih lanjut dijelaskan, guguran material ke arah Kali Lamat yang berasal dari Gunung Merapi yang kini berstatus siaga level tiga tersebut juga terdengar hingga wilayah Kaliurang, Pakem, Sleman. Walaupun, suara guguran tidak terlalu kencang. "Terdengar lemah satu kali dari Kaliurang," imbuhnya.
Pengamatan Visual
Berdasarkan catatan dari BPPTKG, yakni periode pengamatan Gunung Merapi pada Sabtu (21/11) sejak pukul 00.00 hingga 24.00 WIB, Merapi tercatat mengeluarkan sebanyak 60 kali gempa guguran.
Selain gempa guguran, Merapi juga terpantau menunjukkan sebanyak 314 gempa hybrid atau fase banyak, 35 kali gempa vulkanik dangkal, dan 63 kali gempa embusan.
Tidak hanya itu, berdasarkan pengamatan visual yang dilakukan oleh BPPTKG, Merapi juga mengeluarkan asap warna putih dengan intensitas sedang dengan ketinggian 50 meter di atas puncak," sambung Hanik.
Soal deformasi, BPPTKG juga menyebutkan jika berdasarkan periode pengamatan Gunung Merapi pada Sabtu (21/11) sejak pukul 00.00 hingga 24.00 wib, laju rata-rata deformasi Gunung Merapi sebesar 12 cm per harinya. Laju rata-rata diukur dengan menggunakan electronic distance measurements (EDM) dari Pos PGM Babadan.